oleh : Drs. Ana Nadhya Abrar, MA.
Kebebasan pers di satu Negara ditentukan oleh sistem pers yang dianut Negara tersebut. Terdapat empat sistem pers yang dianut oleh Negara-negara di dunia ketika “perang dingin” antara blok Barat dan blok Timur masih berlangsung, yaitu :
1. Otoriter
2. Liberal
3. Marxis, dan
4. Tanggungjawab sosial
Setelah perang dingin usai, sistem pers susut menjadi tiga, yaitu : pasar (di negara-negara kapitalis), Marxis (di negara-negara sosialis), dan berkembang (di negara-negara yang sedang berkembang) (Dalam Severin dan Tankard, Jr 1992:290).
Atas dasar penggolongan sistem pers tersebut, Altschull mendefinisikan berbagai pandangan tentang kebebasan pers :
1. Sistem Pasar, kebebasan pers dipandang sebagai :
a. Para wartawan bebas segala bentuk kontrol eksternal
b. Pers tidak melayani kekuasaan Negara dan tidak boleh dimanipulasi oleh kekuasaan Negara
c. Pers tidak membutuhkan kebijakan pers nasional yang menjamin adanya kebebasan pers.
2. Sistem Marxis, kebebasan pers dipandang sebagai :
a. Pers harus menyiarkan pendapat semua golongan masyarakat, tidak hanya pendapat golongan yang berpunya saja
b. Kebebasan pers diperlukan untuk menghambat dan menangkal semua ancaman yang datang dari luar
c. Pers membutuhkan kebijaksanaan pers nasional untuk menjamin pelaksanaan kebebasan pers berjalan sesuai dengan kehendak Negara.
3. Sistem Berkembang, kebebasan pers dipandang sebagai :
a. Para wartawan bebas menentukan ihwal yang baik dan yang buruk
b. Kepentingan nasional lebih penting ketimbang kebebasan pers
c. Pers membutuhkan kebijaksanaan pers nasional untuk melindungi kebebasan pers yang legal.
Dari penjelasan menurut Altschull, Indonesia menganut sistem pers berkembang karena pers lebih menjunjung tinggi kebebasan pers namun masih bertanggungjawab terhadap kebijakan-kebijakan negaranya. Namun, sistem ini dapat berubah menjadi sistem pers pasar jika pekerja pers tidak dipaksa berbuat sesuatu dan mampu membuat sesuatu untuk mencapai apa yang diinginkan.
Dalam konteks jurnalisme, pers yang bertanggungjawab sama dengan pers yang etis menurut John C. Merrill. Akibatnya, pers disebut bertanggungjawab jika ia mematuhi etika jurnalistik. Sebuah pers akan dinilai sebagai pers yang etis jika para wartawannya menyiarkan berita berdasarkan pengetahuan, pengalaman dan nilai-nilai yang dimilikinya dengan dipandu oleh prinsip umum etika jurnalistik dan Kode Etik Jurnalistik PWI.
Buku Panduan Buat Pers Indonesia ini sangat bagus karena berisi poin-poin penting, yaitu mengenai hal-hal hubungan pers dan pemerintah, eksistensi pers, bagaimana agar pers mencapai keberhasilan dari sisi pers/lembaga itu sendiri, informasi yang disajikan harus yang akurat, mengupayakan dan menjaga citra pers yang positif, dan apa yang menjadi tolak-ukur keberhasilan pers seiring dengan munculnya globalisasi.
Hubungan pers dan pemerintah dapat digolongkan, yaitu :
1. Mempunyai kedudukan yang seimbang dan berjalan sendiri-sendiri
2. Bekerjasama dengan pemerintah dengan posisi tawar-menawar yang seimbang
3. Alat pemerintah (Merrill 1989:100).
Pers disebut bekerjasama dengan pemerintah jika pers merupakan partner pemerintah, yang senantiasa bekerjasama untuk tujuan yang dirumuskan secara bersama. Sedangkan pers disebut alat pemerintah jika dikendalikan oleh pemerintah untuk kepentingan pemerintah. Tetapi, sesungguhnya kerjasama tersebut semu.
Eksistensi pers dalam artinya yang umum adalah keberadaan diri pers dalam berhubungan dengan realitas di luar dirinya. Menggunakan prinsip jurnalistik yang umum, terdapat tiga hal di luar diri pers yang berhubungan dengan pers, yaitu lembaga-lembaga pemerintah yang melingkupi pers, lembaga profesi wartawan, pembaca yang membutuhkan informasi dari pers. Ketiga hal ini dapat dijadikan parameter untuk menilai eksistensi pers. Makin banyak pembaca setia sebuah pers, makin kuat eksistensi pers tersebut. Eksistensi pers Indonesia saat ini masih lemah, salah satunya terdapat banyak lembaga pemerintah yang dapat menekan pers untuk tidak menyiarkan berita yang tidak disenangi pemerintah. Oleh karena itu, pemerintah diharapkan mempunyai agenda baru untuk menciptakan pers dengan eksistensi kuat yaitu political will, yang memiliki kekuatan bargaining dengan pemerintah untuk memberikan kebebasan yang lebih banyak kepada pers.
Selain political will untuk memperkuat eksistensi pers di Indonesia, yang juga sangat penting dilakukan adalah memperbaiki lembaga pers itu sendiri. Sebelumnya parlu diperhatikan posisi pers dan kebedaan masyarakat umum. Masyarakat memang dapat bersikap kritis dalam menyikapi berita-berita yang disiarkan pers. Tetapi, kemampuan pers dalam agenda building dan kritik terhadap uses and gratifications theory menimbulkan pendapat bahwa posisi pers sangat kuat. Masyarakat seolah-olah tidak berdaya berhadapan dengan pers. Nilai-nilai yang dilontarkan oleh pers akan mudah diterima oleh masyarakat. Idealnya, nilai-nilai yang dilontarkan pers kepada masyarakat tidak hanya berasal dari pihak yang berwenang saja, tetapi juga dari masyarakat awam (grassroots). Jika nilai-nilai yang berasal dari masyarakat awam (grassroots) ini tidak disiarkan pers, setidaknya akan terjadi tiga hal, yaitu masyarakat merasa dirugikan, masyarakat tidak gampang menganalisis peristiwa yang diberitakan dan masyarakat tidak sensitif terhadap berita. Ketiga hal ini, pada gilirannya akan membuat masyarakat merasa muak kepada pers.
Globalisasi komunikasi membawa dampak yang negatif terhadap pers, antara lain : informasi dimonopoli oleh sebagian kecil orang atau lembaga, dan nilai berita utama yang dipraktekkan pers adalah peningkatan jumlah tiras.
Salah satu makna komunikasi yang pantas diambil pers di Indonesia adalah menggalang kekuatan rakyat untuk menciptakan konsensus yang perlu dipatuhi pers, misalnya untuk melestarikan struktur sosial yang sudah dianggap baik, tidak menjadikan khalayak sebagai masyarakat tanpa wajah kemanusiaan dan sebagainya. Untuk itu, pers perlu meningkatkan penyiaran berita dan artikel tentang seluk-beluk pers normatif dan dunia kerja pers yang riil. Maka dari sinilah perlu ditingkatkan peran gatekeeper.
Untuk melengkapi kemajuan pers secara optimal di Indonesia disarankan untuk menghentikan self-censorship dan memaknai “kebersamaan” secara proporsional.
1. Self-censorship telah menjadi salah satu bentuk kontrol kualitasnya suatu berita. Kontrol kualitas berita di surat-surat kabar Indonesia kini menjadi lima, yaitu Kode Etik Jurnalistik PWI, cita-cita institusional media, keberadaan sistem pers ditengah-tengah sistem sosial, undang-undang, dan self-censorship. Keempat kontrol kualitas yang pertama perlu dipatuhi, karena pengamalannya akan menguntungkan khalayak, profesi wartawan, dan media massa. Tetapi lain halnya dengan self-consership. Self-censorship hanya menguntungkan bagi wartawan dan pemilik modal surat kabar, sedangkan pihak yang dirugikan adalah khalayak.
· Bagi wartawan, membuat mereka berpikir dan berbuat serba dimensional. Secara tidak langsung, mengajak para wartawan untuk selalu melihat dan menimbang segala hal secara menyeluruh.
· Bagi pemilik modal, memberikan rasa aman dalam mengusahakan keuntungan uang sebanyak-banyaknya, memudahkan mereka berurusan dengan pejabat pemerintah.
Secara teoritis, yang harus selalu diuntungkan oleh penyiaran sebuah berita adalah khalayak. Sebab tujuan utama penerbitan surat kabar adalah untuk melayani kepentingan khalayak.
2. Memaknai “kebersamaan” secara proporsional. Bagi khalayak, “kebersamaan” mengajarkan mereka agar tidak keluar dan terlepas dari lingkungan yang ada. “Kebersamaan” mengacu kepada kehidupan yang tidak menyimpang dari nilai dan sikap yang berlaku umum.tetapi ini didasari oleh faktor subyektif, kondisi dalam diri mereka sendiri, baik intelektual maupun spiritual. Tidak berupa paksaan dari luar diri mereka. Bagi pemerintah, “kebersamaan” akan dipandang sebagai nilai yang bermanfaat untuk memobilisasi khalayak agar bersikap sesuai dengan kehendak pemerintah. Dengan kata lain, khalayak terpaksa menganut “kebersamaan” karena kekuatan dari dalam diri mereka kalah kuat dibandingkan dengan kekuatan dari luar diri mereka. Dari penjelasan ini, pers harus segera memaknai “kebersamaan” secara proposional, yaitu dengan merangsang berkembangnya faktor internal sebagai saringan “kebersamaan”.
Media massa sudah mendapatkan tempat di hati khalayak. Cara penyajian dan pilihan informasi yang dipilih pers menjadikan khalayak harus bersinggungan dengan media massa. Namun, pers akan lebih berhasil lagi jika dapat melaksanakan fungsi pers secara proporsional dan berhasil menghasilkan wartawan yang besar.