PENDAHULUAN
Perkembangan tekhnologi komunikasi secara global telah menimbulkan implikasi cukup berarti bagi kehidupan manusia, termasuk di dalamnya masyarakat Indonesia. Selain berdampak positif, perkembangan itu juga mengakibatkan dampak negative bagi kelangsungan hidup manusia.
Arus informasi global itu memang sulit untuk dibendung, karena melanda seperti air bah. Dengan kemajuan tekhnologi tersebut, komunikasi massa atau identik dengan komunikasi yang bermedia semakin diminati masyarakat dan sudah barang tentu akan terjadi persaingan yang semakin ketat dikalangan pengusaha yang bergerak dibidang media massa.
Media komunikasi massa tersebut adalah media cetak yang sering kita jumpai, seperti Koran, majalah, tabloid, brosur, pamphlet dan lain-lain. Selain media cetak, juga berupa audio atau yang sering
dikenal dengan radio, audio visual atau televisi dan jaringan internet yang sedang bomming pada akhir-akhir ini. Berbagai media massa tersebut menyebabkan persaingan yang tidak sehat dikalangan industry media. Yang selanjutnya berakibat timbul adanya etika komunikasi massa walaupun sebenarnya etika sudah ada jauh sebelum media komunikasi ada.
Kuatnya pengaruh dari kegiatan komunikasi melalui media massa, menyulitkan kita untuk memilah-milah informasi mana yang sebaiknya diserap oleh pengguna media massa tersebut. Dalam hul ini yang paling banyak mendapat sorotan tajam dari masyarakat adalah media massa televisi melalui tayangan-tayangannya.
Seiring kiprah televisi yang semakin luas jangkauannya, serta tumbuhnya stasiun-siusiun TV baru, memungkinkan banyaknya sendi-sendi kehidupan yang berlaku dalam masyarakat seperti norma atau perilaku jadi ikut tergradasi. .”Untuk mengantisipasi hal ini, maka dibentuk oleh pemerintah Komisi Penyiaran
Ihdonesia-Daerah (KPID) yang mengatur keberadaan TV atau radio publik dengan melihat dari segi isi (content) tayangan termasuk juga tentang frekuensinya, yang mana semua ini diatur dalam Undang-undang nomor 32 tahun 2002 tentang penyiaran.”
Masalahnya adalah, apakah media massa khususnya media elektronik dapat memenuhi harapan publiknya dengan isi (content) yang tepat atau cocok dengan lokalitas yang dimiliki daerah atau wilayah di mana media tersebut beroperasi. Sudah tentu untuk itu diperlukan ada-nya etika dalam menjalankan media komunikasi massa, dengan mengutamakan isi pesan yang memuat budaya daerah yang bersangkutan atau Negara itu berada.
PEMBAHASAN
Pengertian Etika
Dalam membahas komunikasi massa, dalam konteks ini media massa, baik itu media cetak, audio, audio visual, maupun computer sebagai media internet, maka akan dihadapkan dengan kehidupan social. Dan pada saat itu juga, maka media massa akan
berhadapan dengan masalah etika. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pada dasarnya media massa tidak bebas nilai. Dalam hal ini, penulis memaparkan beberapa pengetian etika dalam konteks komunikasi massa.
Fajar Junaedi menuliskan dalam bukunya yang berjudul Komunikasi Massa Pengantar Teoritis bahwa Kata “etika” berasal dari bahasa Yunani Kuno yaitu ethos. Dalam bentuk jamak berubah menjadi “ta etha”, yang berati adat istiadat. Arti inilah yang menjadi latar belakang bagi terbentuknya studi mengenai etika yang diawali oleh Aristoteles (384-322 SM).
Secara terminologi, Fajar Junaedi mengutip dari Bertens, memaknai etika kedalam makna yang lebih luas. Diantaranya:
1. Kata “etika” dapat dimaknai dalam arti nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan moral bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya.
2. Kata “etika” juga dapat diartikan sebagai kumpulan asas atau nilai moral, yang sering
disebut juga dengan kode etik.
3. Kata “etika” dapat berarti pula sebagai ilmu yang mempelajari mengenai hal yang baik dan buruk di masyarakat.
4. Etika sama maksudnya dengan filsafat moral.
Pengertian lain mengenai definisi etika menyebutkan bahwa etika adalah lini arahan atau aturan moral dari sebuah situasi di mana seseorang bertindak dan mempengaruhi tindakan orang atau kelompok lain.
Mengutip pendapat Verderber, Deddy Mulyana menulis bahwa etika adalah stanar-standar moral yang mengatur perilaku kita, bagaimana kita bertindak dan mengharapkan orang lain bertindak. etika pada dasarnya merupakan dialektika antara kebebasan dan tanggung jawab, antara tujuan yang hendak dicapai dan cara untuk mencapai tujuan itu. Ia berkaitan dengan penilaian tentang perilaku benar dan tidak benar, yang baik atau yang tidak baik, yang pantas atau yang tidak pantas, yang berguna atau yang tidak berguna, dan yang harus dilakukan atau tidak boleh
dilakukan.
Jika dihubungkan dengan komunikasi massa, kita dapat menganalisa dari komponen komunikasi massa itu sendiri. Bahwa komunikasi massa selalu berhadapan dengan masyarakat luas, tidak lepas dari media, dan pelaku komunikasi massa itu sendiri adalah manusia biasa, yang mana dalam kesehariannya memiliki hawa nafsu atau mempunyai keingintahuan bahkan tuntutan profesi yang memungkinkan menghalalkan segala cara, dalam konteks ini system / komponen yang berada dilembaga media massa dimana orang itu tergabung di industry media massa itu sendiri.
Kata-kata “etika” sering juga disebut dengan etik saja. Etik menyangkut nilai-nilai social dan budaya yang telah disepakati masyarakat sebagai norma yang dipatuhi bersama. Karena nilai yang disepakati bersama itu tidak selalu sama pada semua masyarakat, maka norma etik akan berbeda antara masyarakat yang satu dengan yang lainnya.
dalam media massa sendiri, dapat ditemukan pada realita yang ada.
Sebut saja permasalahan penerbitan majalah play boy di Amerika dengan di Indonesia. Di Negara paman Syam tersebut terlihat biasa-biasa saja dan tidak ada yang aneh pada penerbitan itu. Sedangkan di Indonesia, majalah yang ber ikon kelinci berdasi itu mendapat kecaman dari berbagai pihak.
Gambaran itu merupakan salah satu contoh datangnya budaya barat pada Negara kita, meskipun banyak prinsip etik yang bersifat universal. Sehingga diperlukan kehati-hatian dalam mempelajari norma etik yang datang dari luar. Apakah telah selaras dengan nilai-nilai masyarakat kita sendiri, khususnya nilai-nilai yang mendasar yang membentuk jati diri kita sebagai bangsa. Apalagi jika nilai-nilai tersebut hendak diserap atau diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat secara luas.
Pokok-Pokok Kode Etik Dalam Komunikasi Massa
Sebagaimana keterangan sebelumnya, bahwa dengan semakin banyaknya jumlah media massa, maka persaingan tersebut, pekerja pers akan semakin
terburu-buru menyiapkan informasi dan tayangannya. Akibat keterdesakan waktu, maka tingkat ketelitian akan semakin berkurang pula. Ketika inilah terjadi kelalaian atau pealnggaran terhadap nilai-nilai etis dalam komunikasi massa.
Dalam mengemukakan sebuah basis komunikasi, Karl Wallace mengembangkan sebuah perspektif politik. Ia memebri garis besar dari empat moralitas atau garis-garis pedoman etika yang berakar dalam nilai-nilai demokratis ini.
1. Keharusan mengembangkan kebiasaan meneliti (habith of search) yang tumbuh dari pengenalan bahwa selama melakukan komunikasi, sipelaku adalah sebagai sumber primer.
2. Menumbuhkan kebiasaan sikap adil (habit of justice) dengan memilih dan menampilkan fakta dan pendapat secara terbuka.
3. Komunikator harus terbiasa mengutamakan motivasi umum daripada motivasi pribadi.
4. Menanamkan kebiasaan menghormati perbedaan pendapat dengan memperlihatkan dan mendorong berbagai ragam argument dan
pendapat.
Dalam praktek komunikasi massa banyak sekali yang harus dijadikan landasan etis. Diantara sifat etis tersebut adalah berani membala kebenaran, bertanggung jawab, bersikap demokratis, sportif, mengakui kesalahan, menghormati hak asasi dan kebebasan orang lain, berlaku sopan santun dan tenggang rasa, mementingkan keselamatan orang banyak, obyektif, tidak memihak, cermat atau teliti, tidak memutarbalikkan fakta, tidak memfitnah atau menghasut, menghindari sensasi, menghindari porno atau cabul, menghindari sadism, tidak menerima imbalan demi tidak atau menyiarkan berita, dan lain sebagainya.
Dari keempat moralitas yang digariskan karl Wallace sebagai garis pedomen etika di atas, maka secara garsi besar semua norma etis yang disebutkan, bahwa pokok-pokok etika dalam komunikasi massa terdiri dari :
1. Fairness
Pada bagian ini, yang penting dalam komunikasi massa adalah unsure objektif, yakni kejujuran dalam menyampaikan fakta. Sejauh
mana seharusnya objektifitas menjadi standar penulisan berita yang etis dalam media cetak maupun elektronik.
Unsure fairness selain tersebut di atas adalah bersikap wajar dan patut. Sesuatu yang dipublikasikan tidak boleh terlepas dari unsure kepatutan menurut etika yang berlaku. Missal menenggang prerasaan pembaca, terutama korban yang menderita dari apa yang dipublikasikan.
Unsure objektivitas atau kejujuran dalam menyampaikan informasi menjadi salah satu kunci sukses seorang wartawan dan juga kunci sukses institusi tempatnya bekerja. Masyarakat pembaca, pendengar, dan pemirsa tidak boleh kehilangan kepercayaan dan informasi yang dipublikasikan. Sekali saja masyarakat merasa dibohongi, maka boleh jadi selamanya kepercayaan akan hilang. Dan kondisi seperti itu merupakan awal kehancuran karir wartawan atau lembaga per itu sendiri. “semaikin baik seorang wartawan, ia semakin mampu mendekati objektivitas”.
2. Akurasi (Accuracy)
Unsure
pokok dalam etika komunikasi massa adalah ketepatan data atau informasi yang disiarkan kepada khalayak. Pada pokok ini, penyaji informasi diharuskan untuk menyajikan informasi yang akurat, dalam artian berita tersebut benar adanya dan tidak dibuat-buat. Sehingga, selain media pada saat ini sudah berkembang pesat, mulai media yang resmi atau mempunyai izin dan media yang tidak berizin, jika organisasinya ingin bertahan lama atau dapat dipercaya oleh khalayak, maka hal ini patut untuk dilakukan oleh organisasi media demi menjaga kepercayaan dan pencitraan kepada masyarakat. Sehingga dapat diterima masyarakat luas.
3. Bebas dan bertanggung jawab. Pada tahapan ini, pemakalah mengartikan bahwa pelaku media khususnya pada pemburu berita ketika melihat secara langsung ada kecelakaan, yang mana dalam situasi tersebut tidak ada seorangpun yang mengetahui dan hanya pemburu berita itulah yang mengetahuinya. Dalam situasi ini, maka tindakan yang segera diambil
adalah tidak harus meliput terlebih dahuku, melainkan menolong baru meliput. Karena jika yang dilakukan demikian, maka unsure dalam pokok etika komunikasi massa tidak akan hilang dan wartawan tersebut akan mendapatkan keduanya. Diantaranya wartawan tersebut bebas meliput sekalian menolong atau peliput tadi mencari pertolongan yang lebih dekat dari TKP dan kemudian meliputnya. Namun tidak menutup kemungkinan mereka akan mengabadikan walau sesingkat mungkin. Yang kedua, selain bebas meliput, maka unsure tanggung jawabnya tadi juga bisa terbayarkan dengan adanya pertolongan pada korban.
Pemaparan ini ditulis karena pemakalah mendapatkan bahwa budaya kita terkenal dengan ramah sekaligus beretika dan perbandingan dengan di kejadian di Amerika serikat yang tertulis pada pengantar pada buku etika komunikasi Richard L. Johannesen oleh Dr Deddy Mulyana, M.A yaitu pengantar etika komunikasi: konstruksi manusia yang terikat budaya. Apda pengantar tersebut
tertulis “seorang wartawan dengan kameranya terus membidik seorang pria yang berusaha membakar diri di tempat umum (dengan menyiramkan minyak bakar ke tubuhnya dan menyulutkannya dengan api), alih-alih menyelamatkan korban.”
Sekali lagi perbedaan budaya yang membuat orang salah pengertian tentang bebas dan bertanggung jawab. Orang tersebut jika di Indonesia dianggap tidak beretika ketika didekatnya ada orang yang mencoba bunuh diri namun tidak berusaha menolongnya, namun berbeda lagi dengan di Amerika, seperti keterangan di atas tadi.
4. Kritik konstruktif
Dalam hal ini media sangat berberan sekali untuk menilai kejadian-kejadian yang memerlukan kritikan atau sorotan dari media untuk di informasikan kepada masyarakat. Hanya saja, kritik yang bersifat membangun atau dari informasi yang mereka sajikan kepada khalayak diharapkan dapat mempengaruhi masyarakat keapda hal yang positif. Karena media sendiri mempunyai andil yang sangat besar
dalam pencitraan terhadap khalayak seperti yang tertulis pada pemakalah kelompok 6, bahwa “perubahan masyarakat salah satunya adalah pencitraan dari media itu sendiri”.
Selain fungsi media sebagai pengawas public, mereka (industry media)mereka juga berhak memberi jalan keluar dari permasalahan yang terjadi pada masyarakat. Sehingga masyarakat tidak hanya disuguhi dengan berita yang menimbulkan permasalahan saja terhadap masyarakat, tetapi juga mempunyai nilai plus-plusnya tersendiri bagi media itu sendiri sebagai media yang dapat mencerdaskan masyarakat sebagai salah satu tujuan komunikasi massa itu sendiri.
Antara Etika Dan Realita
Secara empiris, komunikasi massa juga mengalami perkembangan pesat di Indonesia, terutama setelah tahun 1998. Berbagai penerbitan media massa baru tumbuh berkembang bak jamur dimusim hujan setelah tiada lagi persyaratan memiliki SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers) untuk menerbitkan media massa.
Pemberlakuan Undang-undang No. 32 Tahun 2002 tentang penyiaran., semakin memperkaya khasanah media massa di Indonesia. Banyak pemodal besar yang tergiur untuk terjun ke bisnis industry penyiaran, terutama televisi. Berbagai komunitas yang ada dimasyarakat juga tidak ketinggalan mendirikan televisi dan radio komunitas untuk memenuhi kepentingan komunitasnya.
Semakin banyaknya pemain yang terjun di bisnis industry komunikasi, terutama bisnis media massa, menyebabkan semakin ketatnya persaingan di antara para pemain tersebut. Tidak mengherankan jika kemudian banyak media massa yang lagi memperdulikan etika, dan lebih berorientasi pada kepentingan pasar semata. Tayangan yang kurang mendidik yang seharusnya kurang layak ditontonpun semakin ramai menghiasi layar televisi, bahkan tayangan yang dapat merusak moral bangsa juga dipresentasikan di media audio visual tersebut. Ini merupakan salah satu bukti persaingan yang semakin kejam diantara stasiun
televisi demi merebut masyarakat untuk menontonnya dan tentunya tujuan yang komersil. Tak pelak hal ini mengundang banyak kritikan dari masyarakat dan menjadi wacana yang diperdebatkan public.